Deiforn(4. Hutan Nikar (2))

Irene, Hanix, dan Siema telah sampai di hutan Nikar. Irene sulit menggambarkan bentuk dari hutan Nikar ini. Hutan Nikar terkesan sebagai tempat ceria. Pepohonan di dalamnya berwarna-warni dengan berbagai bentuk. Daunnya ada yang berbentuk pita yang memanjang, ada juga yang berbentuk melengkung. Dari dalam Hutan Nikar tercium bau harum yang sangat menggoda.

"Ayo kita masuk." Ucap Hanix sembari menyeret tubuhnya menuju hutan. Irene dan Seima pun mengikutinya di belakang.

Saat sudah sampai dalam hutan Irene terkejut melihat perubahan wajah Siema dan Hanix yang menjadi jelek. Jauh lebih jelek dari sebelumnya. Irene kebingunggan mengapa wajah mereka bisa seperti itu. Apa karena mereka masuk ke hutan ini?

"Kenapa dengan wajah kalian?" Tanya Irene.

"Oh iya ada satu hal yang belum kujelaskan." Ucap Hanix.

"Apa itu?" Tanya Irene penasaran. Matanya membesar menatap Hanix.

"Jadi jika suatu makhluk memasuki hutan Nikar, wajahnya akan berubah berkebalikkan dengan wajah aslinya." Jelas Siema panjang lebar.

"Maksudnya." Tanya Irene tak mengerti, matanya menyempit menatap 2 makhluk di depannya.

"Jadi jika wajah makhluk itu cantik, saat dia memasuki hutan Nikar wajahnya akan menjadi jelek begitu pun sebaliknya." Ucap Hanix menjelaskan dengan sabar kepada Irene.

"Oh." Ucap Irene mengerti seraya menganggukkan kepalanya.

"Jadi wajahku pasti jelek saat ini." Ucap Irene percaya diri.

Hanix dan Siema diam, mereka berdua bingung ingin berkomentar apa. Salah komentar sedikit saja akan berakibat dengan kemurkaan Irene.

Merasa tidak mendapat respon yang berarti, Irene memetik sebuah daun dari pohon. Daun tersebut seperti cermin yang memantulkan bayangan kita. Saat Irene melihat daun tersebut, betapa kagetnya karena wajahnya berubah menjadi sangat cantik bagai peri.

"Kalau begitu...... aku jelek ." Ucap Irene histeris mengetahui bahwa menurut hutan ini dirinya jelek.

"Kau itu berlebihan sekali." Ucap Siema sembari menghela napas panjang.

"Tunggu dulu jika kalian menjadi jelek berarti aslinya kalian tampan." Ucap Irene dengan mata membesar.

"Ya tentu saja. Asal kau tau saja aku lah yang paling tampan dibangsa ku." Ucap Hanix dengan bangga.

"Tak mungkin, ini tak mungkin." Ucap Irene histeris sembari menumpuhkan lengannya di tanah.

"Sudahlah mari kita lanjutkan lebih dalam." Ucap Siema merasa jengkel dengan tingkah Irene lalu beranjak pergi.

"Ya baiklah." Ucap Irene sembari berdiri kembali.

Ia dan Hanix pun menyusul Siema yang sudah terlebih dahulu pergi. Saat perjalan memasuki lebih dalam Hutan Nikar, mata Irene tak henti-henti berbinar menatap sekeliling hutan. Dirinya terpana dengan kecantikan hutan ini.

Pohon-pohon yang tertiup angin bergerak dengan gemulainya. Beberapa daun yang bermotif indah berguguran. Banyak hewan aneh di Hutan Nikar ini. Salah satu hewan yang berbentuk bintang berukuran kecil. Tubuhnya mengeluarkan cahaya yang berpendar indah. Contoh lainnya adalah hewan berbentuk melengkung yang melingkari batang pohon bagai aksesori pohon tersebut. Hewan itu memiliki motif uang mencolok berwarna kuning.

Irene hampir tertinggal saat memandangi hutan ini, tapi untungnya ia berhasil mengejar. Tiba-tiba saja Hanix dan Siema berhenti di sebuah pohon yang membuat Irene ikut berhenti.

Pohon ini sangat cantik menurut Irene. Batangnya yang besar didominasi warna biru laut dengan garis-garis tipis berwarna hijau zamrud. Daun mengkilap bagai kaca. Sangat bening sekali. Di pohon ini tumbuh buah berbentuk seperti apel namun berwarna ungu seperti anggur.

Hanix pun memetik sebuah dan memberikannya kepada Irene. "Cobalah. Ini akan meledak di mulutmu."

Mendengar kata meledak membuat Irene menjadi tertarik untuk memakan buah tersebut. Pasti rasanya sangat enak sampai-sampai terjadi ledakan rasa di mulut, pikir Irene. Sebelum memakan buah itu, Irene memerhatikan buah itu secara saksama lalu menggigit potongan besar.

Sekali gigit, dua kali gigit, tiga kali gigit namun Irene belum merasakan adanya ledakan rasa. Justru buah ini terasa agak hambar. Namun tiba-tiba buah tersebut benar-benar meledak di mulut Irene bagaikan bom. Membuat mulut Irene sedikit kesakitan.

Irene pun menatap tajam kepada Hanix karena telah membohonginya. Hanix yang ditatap seperti itu memasang wajah tak bersalah sedangkan Siema hanya memerhatikan saja.

"Saat aku bilang 'meledak' itu akan benar-benar meledak di mulutmu. 'Meledak' yang kumaksud secara harfiah." Ucap Hanix tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kau Hanix mencari gara-gara saja." Omel Siema tak tahan melihat tingkah mereka berdua.

Irene meredakan amarahnya. Bukan apa-apa, masalahnya di Deiforn ini ia sudah terlalu sering marah-marah karena kedua makhluk aneh ini. Ia tidak mau dirinya menua karena terlalu sering marah-marah. Irene pun segera mengikuti Hanix dan memberi tanda kepada Siema agar mengikutinya juga.

Hanix berhenti di sebatang pohong yang amat tinggi. Pohon itu amat tinggi hingga seperti menusuk langit. Daunnya yang berwarna keemasan tumbuh memanjang sampai hampir menyentuh tanah seperti pita. Batang berwarna perak memiliki ukiran seperti segitiga yang beraturan. Melihat Hanix berhenti, Siema dan Irene pun ikut berhenti di depan pohon tersebut.

Hanix menatap pohon itu dengan mata berbinar-binar seperti seorang anak kecil melihat es krim di depan wajahnya di hari yang panas. Setali tiga uang dengan Hanix, Siema juga menatap pohon itu dengan pandangan yang sama. Irene pun jadi ikut-ikutan menatap pohon itu dengan padangan berbinar tanpa tahu alasannya.

"Ini kan pohon yang menyenangkan itu kan." Ucap Siema dengan senang, senyum di wajahnya tak bisa dikontrol menyebabkan wajahnya terlihat aneh.

"Iya pohon ini sudah terkenal seantero Deiforn." Ucap Hanix dengan cengiran di wajahnya. Ia melompat-lompat dengan gaya yang aneh, mengingat ia tidak punya kaki. Belalainya bergoyang dengan gerakan aneh.

"Memang nya pohon apa ini?" Tanya Irene tak mengerti. Ia suka kesal saat kedua makhluk ini membicarakan sesuatu tetapi ia tidak mengerti apa-apa.

"Kau lihat  saja ini. Hanix tunjukkanlah." Ucap siema meminta Hanix melakukan sesuatu. Hanix yang mengerti pun segera menghampiri pohon itu lebih dekat dan mengetuk batangnya tiga kali.

Selama beberapa detik tidak terjadi apa-apa, namun tiba-tiba daun-daun pohon itu bergerak dan melilit tubuh bagian bawah Siema, Hanix, Irene. Irene memberontak karena tubuh bagian bawahnya dililit oleh daun itu, dirinya mendeteksi bahaya. Namun lain halnya dengan Siema dan Hanix, mereka berdua terlihat senag tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Tiba-tiba saja daun itu memendek, menyebabkan mereka tertarik ke atas dan menggantung di udara. Mereka bertiga bergantung di udara jauh dari tanah. Irene pun semakin berteriak histeris. Mendengar teriakan Irene yang semakin memecah telinga, Akhirnya Hanix menenangkannya.

"Hei, tenang saja ini tak apa-apa. Justru ini akan menyenangkan." Teriak Hanix menenangkan Irene.

Walaupun telah mendengar ucapan Hanix tapi Irene tak kunjung diam, ia tetap berteriak histeris. Suaranya memenuhi seluruh pelosok hutan Nikar. Hanix dan Siema pun pasrah mendengar teriakan Irene dan menutup telinga mereka.

Daun-daun itu tiba berputar dengan batangnya sebagai pusat. Pohon itu berputar bagai wahana di sebuah taman hiburan. Hanix dan Siema terlihat begitu menikmati sekali permainan dari pohon itu, sedangkan Irene ia bengong karena terkejut dan belum dapat mencerna apa yang terjadi.

Pohon itu terus berputar dengan irama tetap dan tidak terlalu kencang. Pohon itu berputar memberikan kesenangan kepada yang menaikinya. Pohon itu kemudia melambat dan berhenti. Lalu pohon itu kembali menurunkan daunnnya dan menurunkan Hanix, Siema, dan Irene ke tanah dengan selamat.

"Wah aku merasa baru saja menaiki wahana di taman bermain." Ucap Hanix tak percaya dengan apa yang terjadi.

"Iya, jadi kau tak usah berteriak seperti tadi." Ucap Hanix.

"Iya kau seperti makhluk gila yang kelaparan." Ucap Siema dengan sinis dan disambut dengan tatapan tajam Irene.

Sebuah suara orang berjalan menghentikan mereka, membuat mereka waspada. Dari lebatnya semak-semak berwarna cerah dengan daun yang begitu mungil, munculah sebuah makhluk yang sangat tampan. Makhluk tersebut sangat mirip sekali dengan manusia hanya saja kaki seperti sebuah kaki kijang. Wajah dari makhluk itu sangat tampan membuat Irene terkagum-kagum.

"Wah aku kira apa suara berisik, ternyata kalian. Aku kira tidak ada orang lagi selain aku disini." Ucap Makhluk tersebut.

"Ya nyatanya kami disini." Ucap Hanix dengan senyum di wajahnya.

Begitu Hanix selesai berbicara Irene langsung berkari menghampiri makhluk tersebut. Irene bergelayut di lengan makhluk itu yang seperti lengan manusia dengan manjanya. Makhluk tersebut kebingungan dengan yang terjadi.

"Namaku Irene. Namamu siapa?" Tanya Irene dengan nada suara ia lembutkan.

"Eh... namaku Tunix iya Tunix." Ucap makhluk itu dengan gagap karena perlakuan dari Irene ini.

"Oh iya aku sudah mau keluar dari hutan ini." Ucap Tunix ingin segera melepaskan diri dari Irene.

"Kami juga mau keluar dari tempat ini." Ucap Irene mencari alasan agar bisa bersama dengan makhluk ini.

Sementara Irene dan Tunix berbicara berdua saja tanpa menghiraukan mereka, mereka hanya bisa menyaksikan drama yang disajikan di depan mereka. Mereka berpandangan lalu kembali memandang drama itu lagi. Hanix ingin memandang aneh Irene.

"Izinkan aku memberitahunya." Ucap Hanix dengan wajah gelisah.

"Itu tidak perlu. Biarkan dia tahu sendiri saat sudah keluar daru hutan." Ucap Siema dengan senyum misteriusnya, membuat Hanix mau tak mau ikut tersenyum misterius juga.

Tunix pun segera berjalan keluar dengan Irene yang masih menempel di lengannya. Melihat Irene berjalan keluar, Hanix dan Siema segera mengikutinya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk keluar. Tunix keluar lebih dulu dengan Irene yang masih bergelayut di lengannya, sedangkan Hanix dan Siema menyusul di belakangnya.

"Hei tempat tinggalmu dimana?" Tanya Irene sembari menatap ke bawah karena tak kuat melihat wajah tampan tunix.

"Tempat tinggalku cukup jauh darisini." Ucap Tunix kepada Irene. Saat Tunix berbicara, Irene mencium bau yang sangat tidak sedap. Padahal saat Tunix berbicara di hutan tadi, ia mengeluarkan bau yang sangat harum.

Karena penasaran Irene mendonggakkan kepalanya menatap Tunix. Betapa kagetnya Irene saat melihat wajah yang sangat jelek mirip Tunix. Irene bersumpah itu wajah yang paling buruk rupa yang pernah ia lihat. Kemana wajah tampan bak malaikat milik Tunix.

Sontak saja Irene langsung melepaskan kaitan lengannya dengan lengan Tunix, lalu menjauh pergi. Ia pun segera menatap garang Tunix. Tunix yang ditatap seperti itu langsung melarikan diri tanpa tahu salahnya.

Setelah Tunix pergi, Hanix dan Siema menghampiri Irene. Mereka berdua beridri berjajar dengan Irene ditengah, lalu mereka berdua menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka berdua terpana oleh kelakuan Irene yang mudah terlena oleh wajah tampan seseorang.

"Kau sudah lupa dengan keajaiban Hutan Nikar ini." Ucap Siema dengan nada meremehkan.

"Kenapa kalian tidak mengingatkan aku." Ucap Irene dengan murka sembari menatap wajah kedua makhluk yang ada di sampingnya ini secara bergantian. Ia tak percaya bahwa kedua makhluk ini tak mengingatkannya sama sekali.

'"Eh kau jangan marah. Aku sebenarnya ingin memberi tahumu tadi, namun Siema menahanku." Ucap Hanix melimpahkan seluruh kesalahan kepada Siema. Hasilnya kini kemarahan Irene hanya tertuju kepada Siema.

"Maafkan aku. Iya aku mengaku salah." Ucap siema ingin meredam kemarahan Irene. Hasilnya Irene menghela napas panjang. Ia tak mau lagi marah-marah. Ia sudah dapat mengontrol kemarahannya karena sudah sering marah disini.

"Lebih baik sekarang kita pergi ke tempat klan Narmos." Ucap Hanix  setelah mmelihat keadaan sudah tenang.

"Ayo." Ucap siema dengan bersemangat.

"Oh aku ikut saja deh kemana kalian pergi." Ucap Irene pasrah mau dibawa kemana saja.

Mereka pun segera meninggalkan Hutan Nikar dan berjalan ke arah Utara, ke tempat klan Narmos berada. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Namun mereka bertiga terus berjalan dengan semangat ke arah utara.
___________


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Deiforn(novel): Sinopsis

Asal mula dipakainya obor dalam olimpiade

Jenderal Ahmad Yani