Deiforn (2.warisan sang nenek dan kalung misterius)
Keempat orang tersebut serempak menoleh ke asal suara tersebut masih dengan posisi tadi. Para orang tua yang melihat hal tersebut langsung melotot marah. Melihat kemarahan para orang tua membuat Jake, Erina, Irene langsung kembali duduk.
Para orang tua itu terdiri dari kedua orang tua Irene, kedua orang tua Jake dan Peter, dan ibu Erina. Sedangkan ayah Erina telah meninggal 2 tahun lalu.
"Kalian ingin menganiaya Peter?" Ucap Marisa dengan nada marah.
"Tidak bu, tadi kami hanya bercanda saja. Iya kan Peter?" Ucap Irene menyakinkan ibunya dengan meminta bantuan Peter.
"Bercanda apa. Kalian bertiga tadi benar-benar ingin menhajar aku." Ucap Peter dengan penuh emosi.
"Kalian kan sepupu kalian tidak boleh saling menyakiti." Ucap Edwin Ayah dari Peter dan Jake.
Merasa tak ingin dinasihati, Erina mengalihkan topik pertanyaan dengan lihai. "Oh iya mana warisan yang kalian bicarakan tadi?" Ucap Erina dengan mata berbinar.
"Oh iya, ini dia warisannya." Ucap Erick sembari menaruh kotak yang ia bawa ke meja makan di sebelahnya. Kotak itu terbuat dari kayu, terlihat tua dan kusam.
"Paman kenapa kotaknya di taruh di meja makan kenapa tidak ditaruh di meja ruang tamu." Protes Jake karena tak merasa tak leluasa melihatnya.
"Jangan banyak protes kau juga bisa melihatnya." Ucap Marisa. Letak ruang tamu dan meja makan memang bersebelahan tanpa dibatasi apapun sedangkan letak pintu menuju ruang bawah tanah tempat para orang tua muncul berada di sebelah meja makan.
"Baiklah mari kita bongkar kotak ini." Ucap Cathy ibu dari Erina. Para orang tua pun langsung duduk di meja makan. Erick selaku yang memegang kotak pun langsung membukanya dan terlihatlah benda yang ditutupi kain.
"Kalian sudah mengambil bagian kalian ya." Ucap Peter kepada para orang tua saat melihat kotaknya tak terkunci padahal untuk menyimpan harta harusnya terkunci.
"Memangnya kenapa, kalian harusnya bersyukur karena sudah diberi." Ucap Estela ibu dari si kembar.
"Ya, terima kasih kami semua sudah diberi warisannya." Ucap Irene dengan nada terpaksa.
Mendengar perdebatan yang tak berujung, Erick pun langsung menyingkirkan kain tersebut ke pinggir kotak dan mengeluarkan kalung mutiara yang sangat indah berwarna merah delima dengan dengan talinya terbuat dari emas putih.
Melihat kalung tersebut membuat keempat sepupu tersebut membuka mulutnya karena sangat kagum, terutama para perempuan. Mereka semua tak percaya ada kalung sebagus itu. Kalung itu seolah-olah memancarkan cahaya merah.
"Wah, indah sekali." Komentar Erina.
"Kau mau?" Tawar Erick kepada Erina yang terlihat mengingingkan kalung tersebut.
"Kalau begitu ini ambilah." Ucap Erick.
"Benarkah?" Ucap Erina tak percaya. Ia pun langsung berdiri dan menghampiri Erick, kemudian mengambil kalung tersebut dari tanga Erick dan memakainya.
"Wah aku cocok sekali memakai ini." Komentar Erina melihat dirinya sangat cocok memakai kalung tersebut. Erina pun kembali ke tempatnya duduk dengan rasa senang.
"Wah beruntung sekali dia." Ucap Peter, Jake, dan Irene bersamaan. Mereka iri melihat Erina memakai kalung sebagus itu.
"Tenang saja kalian nanti juga dapat. Kami sengaja menyisakan 4 kalung untuk kalian agar adil." Ucap Erick.
"Wah kalian baik sekali." Ucap Irene memuji para orang tua.
"Memangnya tadi ada berapa kalung?" Tanya Jake dengan curiga.
"Jangan-jangan tadi ada banyak." Ucap Peter tak kalah curiga
"Kau saja yang membagikannya Erick." Ucap Edwin sembari berjalan pergi memasuki kamarnya membuat Erick melotot tak percaya.
"Kau saja ya yang menghadapi mereka sayang." Ucap Marisa juga meninggalkan Erick pergi dan diikuti oleh para orang tua lainnya. Mendengar hal tersebut Erick tambah tak percaya karena istrinya yang mengatakan itu. Erick yang malang ditinggalkan oleh para orang tua lainnya untuk menghadapi pertanyaan itu.
Tinggalah Erick sendiri di ruang makan dengan kotak di depannya. Erick pun menolehkan kepalanya kepada keempat sepupu itu. Empat orang itu menatapnya marah membuat nyali Erick hilang, padahal dia orang tua. Sebagai orang tua Erick telah kehilangan wibawanya.
"Jadi memang benar hartanya tadi ada banyak." Ucap Peter dengan emosi.
"Wah paman benar-benar tak bisa dipercaya." Ucap Jake sambil megeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayah serakah sekali." Tambah Irene menyalahkan ayahnya.
Ketiga-tiganya menyerang Erick dengan kata-kata, sedangkan Erina ia tengah asyik mengangumi kalung barunya dan tak peduli dengan keadaan sekitar.
"Mengapa kalian hanya menyalahkan ayah. Padahal tak hanya ayah saja yang mengambil harta dengan banyak." Bela Erick. Ia tak mau kalah begitu saja dari anak-anak kecil dihadapannya.
"Karena paman yang satu-satunya berada disini." Ucap Peter mewakili semuanya.
"Wah kalian benar-benar. Padahal kan hanya para orang tua saja yang mendapatkan warisan. Kalian harusnya bersyukur karena mendapt bagian." Ucap Erick tetap ngotot.
"Itu anggapan lama paman. Sudah kuno. Zaman telah berubah dan di zaman ini semuanya harusnya warisan dibagi rata antara anak dan cucu." Ucap Jake.
"Ya itu betul." Dukung Irene.
"Hei Erina kau tidak mau mengatakan sesuatu?" Tanya Peter sembari mencolek bahu Erina.
"Tidak, aku sudah bahagia dengan kalung ini." Ucap Erina tak peduli.
"Kalau kalian terus protes, kalian tidak akan mendapat apa-apa." Ucap Erick ingin mengakhiri perseteruan ini.
"Ya baiklah daripada tidak sama sekali." Ucap Peter mengalah.
Mendegar mereka sudah menerimanya, Erick pun mengeluarkan satu kalung lagi dari dalam kotak. Kalung tersebut lebih indah dari kalung pertama. Batu pertama berwarna hijau zamrud dengan dikelilingi beberapa permata berwarna purih yang lebih kecil.
"Biar tidak ada yang ribut, biar aku saja yang yang mengatur pembagiannya mulai sekarang." Ucap Erick.
"Irene ini untukmu." Lanjut Erick. Irene pun segera menghampiri untuk mengambil kalung tersebut dan kembali ke tempatnya dengan senang.
"Paman tidak memberikan kalung yang paling bagus kepada anak paman kan?" Tanya Peter penuh curiga.
"Tentu saja tidak aku paman orang yang sangat adil. Yang paling adil dari semua orang tua." Ucap Erick menyombongkan dirinya.
"Omong kosong." Ucap Peter.
"Omong-omong kita kan laki-laki, tidak cocok memakai kalung seperti itu." Ucap Jake.
"Tenang saja, kalian bisa memberikan kalung ini ke pacar kalian suatu saat nanti. Walaupun paman tahu sekarang kalian tak mempunyai pacar." Ucap Erick memberi saran sekaligus mengejek.
"Enak saja. Asal paman tau saja keponakan paman ini merupakan siswa paling tampan di sekolah." Ucap Peter dengan bangga sembari menunjukan pesonanya.
"Paman ingin muntah mendengarnya. Jadi kita lanjutkan saja." Kata Erick.
Erick pun mengambil dua kalung yang tersisa dan mengeluarkannya dari dalam kotak. Kedua kalung itu sangat mirip. Kedua kalung tersebut sebening kaca berbentuk bintang. Talinya terbuat dari emas putih yang sangat indah.
"Ini ambilah. Kalung kembar untuk si kembar." Ucap Erick sembari menyodorkan kedua kalung itu. Jake dan Peter pun bangun untuk mengambil kalung itu dang langsung kembali ke tempatnya.
"Sudah ya paman pergi dulu." Ucap Erick sembari menutup kotak tersebut dan mengangkatnya. Saat Erick mengangkat kotak tersebut terdengar bunyi dari dalam kotak, seperti ada sesuatu dalam kotak tersebut. Erick pun bingung karena seharusnya kotak itu sudah kosong dan hanya berisi kain saja.
"Ada apa paman?" Tanya Peter melihat ekspresi pamannya.
Tak mendengarkan Peter, Erick pun langsung menaruh kotak itu kembali dan membukanya. Ia mengangkat kain yang ada di dalam kotak dan terlihat sebuah sebuah batu yang dibuat menjadi kalung. Tali kalung tersebut hanya dari tali yang sangat usang.
"Apa ini?" Tanya Erick kebingungan.
"Ada apa yah?" Tanya Irene yang sedari tadi memerhatikan ayahnya.
"Ayah tak tahu apa ini." Ucap Erick sembari mengeluarkan kalung tersebut.
"Wah jelek sekali." Komentar Erina.
"Iya jelek sekali." Ucap Irene menimpali.
"Apa itu termasuk hartanya nenek." Tanya Peter.
"Apa itu lelucon nenek yang ia buat sebelum meninggal." Ucap Jake.
"Apapun ini, ini pasti sama berharganya dengan yang kalian punya." Ucap Erick.
"Berharga apanya." Ucap Peter tak percaya.
"Kalung ini akan aku berikan kepada Marisa saja." Ucap Erick.
"Wah paman tega sekali memberi istri paman kalung seperti itu." Ucap Erina.
"Siapa tahu saja." Ucap Erick sembari memberasakan kotak tadi dan berlalu pergi.
"Aku penasaran batu apa itu." Ucap Irene.
"Entahlah." Ucap Jake sembari mengangkat bahunya.
______________
Cahaya mentari menerangi hutan di bawahnya, memberi kehangatan bagi seluruh penghuninya. Burung-burung berkicauan meramaikan pagi yang indah ini.
Di pagi yang cerah ini Irene sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton tv bersama ketiga sepupunya.
Acar tv yang ditayangkan pagi ini sangat membosankan membuat Irene tidak betah.
"Acara tv membosankan sekali. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan?" Ajak Irene.
"Ide yang bagus. Cuaca di luar sana pasti sangat menyegarkan,tapi aku sudah lengket sekali di sofa ini" Ucap Erina.
"Aku juga malas." Ucap Peter.
"Aku juga sama." Kata Jake.
"Baiklah biar aku jalan-jalan sendiri saja." Ucap Irene sembari berdiri dari sofa dan berjalan keluar rumah.
Saat sudah di luar, udara segar langsung menyambut Irene. Matahari pagi pun membagikan kehangatannya.
Bau harum bunga menggelitik indra penciuman Irene. Memang di sekitar rumah nenek Irene juga ada kebun bunga.
"Padahal cuacanya secerah ini tapi mereka tidak mau jalan-jalan. Dasar orang- orang aneh." Gerutu Irene sambil berjalan menjauhi rumah.
Irene berjalan memasuki hutan yang berada dekat dengan rumah neneknya. Pepohonan yang lebat menghalangi cahaya matahari masuk, akibatnya bagian dalam hutan lebih gelap. Akar-akar pohon yang besar menjalar di tanah seakan-akan ingin menjerat kaki orang yang memasuki hutan. Namun hal itu tak menyurutkan niat Irene untuk berjalan semakin jauh.
Semakin Irene dalam Irene menjelajahi hutan, suasana dalam hutan berubah menjadi mencekam secara perlahan. Hutan menjadi semakin gelap, bahkan cahaya matahari nyaris tak dapat menembus masuk. Angin yang bertiup, secara perlahan-lahan menajadi kencang.
"Mengapa suasana dalam hutan ini menjadi aneh. Perasaanku juga menjadi tidak enak. Sebaiknya aku segera keluar dari sini." Ucap Irene sembari membalikkan badannya.
Sudah lama Irene berjalan, namun Irene tak kunjung menemukan jalan keluar. Rasa takut perlahan-lahan menjalar dalam dirinya. Ia mulai panik . Walaupun begitu Irene tetap berusaha mencari jalan keluar, namun hasilnya sama.
"Bagaimana ini?." Ucap Irene rasa takut semakin menguasai dirinya. Irene pun berlari karena panik. Namun saat berlari kakinya tersandung akar pohon yang besar, membuat Irene kesakitan terutama di bagian lutut
Perlahan-lahan Irene menjadi histeris. Air mata perlahan-lahan keluar dari matanya. Irene menundukkan kepalanya karena pusing. Irene yang keras kepala telah berubah menjadi lemah.
Angin bertiup semakin kencang. Hutan juga semakin gelap mencekam. Irene menjadi sesak napas karena angin yang kencang membuat debu dan tanah berterbangan ke arahnya. Bau aneh juga tercium dari udara.
Tak lama kemudian angin memutari Irene, mengurung Irene di dalamnya. Angin tersebut memisahkan Irene dari dunia luar. Angin tersebut membuat Irene semakin sesak napas dan pusing. Irene hanya bisa menangis, berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya.
Angin itu terus memutari Irene, menghalangi Irene dari dunia luar. Melihat dirinya dikelilingi angin aneh, Irene berusaha bangkit dan menerobos angin tersebut. Namun tubuh Irene malah terpental ke belakang, membuat sekujur tubuh Irene sakit.
Tak lama kemudian angin tersebut perlahan-lahan melambat hingga berhenti. Angin yang memutari Irene sudah berhenti, namun Irene masih menundukkan kepalanya karena pusing.
Setelah pusingnya mereda, Irene secara perlahan mengangkat kepalanya dan memandangi sekitar. Irene kebingungan karena hutan tempatnya berada tadi telah menghilang. Sekarang ia berada di tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Irene bingung sekaligus takjub karena tempatnya berada saat ini sangat indah. Bahkan membuat Irene tak bisa berkata-kata karena terbius oleh keindahannya. Irene pun bertanya-tanya, ada dimanakah dirinya
Para orang tua itu terdiri dari kedua orang tua Irene, kedua orang tua Jake dan Peter, dan ibu Erina. Sedangkan ayah Erina telah meninggal 2 tahun lalu.
"Kalian ingin menganiaya Peter?" Ucap Marisa dengan nada marah.
"Tidak bu, tadi kami hanya bercanda saja. Iya kan Peter?" Ucap Irene menyakinkan ibunya dengan meminta bantuan Peter.
"Bercanda apa. Kalian bertiga tadi benar-benar ingin menhajar aku." Ucap Peter dengan penuh emosi.
"Kalian kan sepupu kalian tidak boleh saling menyakiti." Ucap Edwin Ayah dari Peter dan Jake.
Merasa tak ingin dinasihati, Erina mengalihkan topik pertanyaan dengan lihai. "Oh iya mana warisan yang kalian bicarakan tadi?" Ucap Erina dengan mata berbinar.
"Oh iya, ini dia warisannya." Ucap Erick sembari menaruh kotak yang ia bawa ke meja makan di sebelahnya. Kotak itu terbuat dari kayu, terlihat tua dan kusam.
"Paman kenapa kotaknya di taruh di meja makan kenapa tidak ditaruh di meja ruang tamu." Protes Jake karena tak merasa tak leluasa melihatnya.
"Jangan banyak protes kau juga bisa melihatnya." Ucap Marisa. Letak ruang tamu dan meja makan memang bersebelahan tanpa dibatasi apapun sedangkan letak pintu menuju ruang bawah tanah tempat para orang tua muncul berada di sebelah meja makan.
"Baiklah mari kita bongkar kotak ini." Ucap Cathy ibu dari Erina. Para orang tua pun langsung duduk di meja makan. Erick selaku yang memegang kotak pun langsung membukanya dan terlihatlah benda yang ditutupi kain.
"Kalian sudah mengambil bagian kalian ya." Ucap Peter kepada para orang tua saat melihat kotaknya tak terkunci padahal untuk menyimpan harta harusnya terkunci.
"Memangnya kenapa, kalian harusnya bersyukur karena sudah diberi." Ucap Estela ibu dari si kembar.
"Ya, terima kasih kami semua sudah diberi warisannya." Ucap Irene dengan nada terpaksa.
Mendengar perdebatan yang tak berujung, Erick pun langsung menyingkirkan kain tersebut ke pinggir kotak dan mengeluarkan kalung mutiara yang sangat indah berwarna merah delima dengan dengan talinya terbuat dari emas putih.
Melihat kalung tersebut membuat keempat sepupu tersebut membuka mulutnya karena sangat kagum, terutama para perempuan. Mereka semua tak percaya ada kalung sebagus itu. Kalung itu seolah-olah memancarkan cahaya merah.
"Wah, indah sekali." Komentar Erina.
"Kau mau?" Tawar Erick kepada Erina yang terlihat mengingingkan kalung tersebut.
"Kalau begitu ini ambilah." Ucap Erick.
"Benarkah?" Ucap Erina tak percaya. Ia pun langsung berdiri dan menghampiri Erick, kemudian mengambil kalung tersebut dari tanga Erick dan memakainya.
"Wah aku cocok sekali memakai ini." Komentar Erina melihat dirinya sangat cocok memakai kalung tersebut. Erina pun kembali ke tempatnya duduk dengan rasa senang.
"Wah beruntung sekali dia." Ucap Peter, Jake, dan Irene bersamaan. Mereka iri melihat Erina memakai kalung sebagus itu.
"Tenang saja kalian nanti juga dapat. Kami sengaja menyisakan 4 kalung untuk kalian agar adil." Ucap Erick.
"Wah kalian baik sekali." Ucap Irene memuji para orang tua.
"Memangnya tadi ada berapa kalung?" Tanya Jake dengan curiga.
"Jangan-jangan tadi ada banyak." Ucap Peter tak kalah curiga
"Kau saja yang membagikannya Erick." Ucap Edwin sembari berjalan pergi memasuki kamarnya membuat Erick melotot tak percaya.
"Kau saja ya yang menghadapi mereka sayang." Ucap Marisa juga meninggalkan Erick pergi dan diikuti oleh para orang tua lainnya. Mendengar hal tersebut Erick tambah tak percaya karena istrinya yang mengatakan itu. Erick yang malang ditinggalkan oleh para orang tua lainnya untuk menghadapi pertanyaan itu.
Tinggalah Erick sendiri di ruang makan dengan kotak di depannya. Erick pun menolehkan kepalanya kepada keempat sepupu itu. Empat orang itu menatapnya marah membuat nyali Erick hilang, padahal dia orang tua. Sebagai orang tua Erick telah kehilangan wibawanya.
"Jadi memang benar hartanya tadi ada banyak." Ucap Peter dengan emosi.
"Wah paman benar-benar tak bisa dipercaya." Ucap Jake sambil megeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayah serakah sekali." Tambah Irene menyalahkan ayahnya.
Ketiga-tiganya menyerang Erick dengan kata-kata, sedangkan Erina ia tengah asyik mengangumi kalung barunya dan tak peduli dengan keadaan sekitar.
"Mengapa kalian hanya menyalahkan ayah. Padahal tak hanya ayah saja yang mengambil harta dengan banyak." Bela Erick. Ia tak mau kalah begitu saja dari anak-anak kecil dihadapannya.
"Karena paman yang satu-satunya berada disini." Ucap Peter mewakili semuanya.
"Wah kalian benar-benar. Padahal kan hanya para orang tua saja yang mendapatkan warisan. Kalian harusnya bersyukur karena mendapt bagian." Ucap Erick tetap ngotot.
"Itu anggapan lama paman. Sudah kuno. Zaman telah berubah dan di zaman ini semuanya harusnya warisan dibagi rata antara anak dan cucu." Ucap Jake.
"Ya itu betul." Dukung Irene.
"Hei Erina kau tidak mau mengatakan sesuatu?" Tanya Peter sembari mencolek bahu Erina.
"Tidak, aku sudah bahagia dengan kalung ini." Ucap Erina tak peduli.
"Kalau kalian terus protes, kalian tidak akan mendapat apa-apa." Ucap Erick ingin mengakhiri perseteruan ini.
"Ya baiklah daripada tidak sama sekali." Ucap Peter mengalah.
Mendegar mereka sudah menerimanya, Erick pun mengeluarkan satu kalung lagi dari dalam kotak. Kalung tersebut lebih indah dari kalung pertama. Batu pertama berwarna hijau zamrud dengan dikelilingi beberapa permata berwarna purih yang lebih kecil.
"Biar tidak ada yang ribut, biar aku saja yang yang mengatur pembagiannya mulai sekarang." Ucap Erick.
"Irene ini untukmu." Lanjut Erick. Irene pun segera menghampiri untuk mengambil kalung tersebut dan kembali ke tempatnya dengan senang.
"Paman tidak memberikan kalung yang paling bagus kepada anak paman kan?" Tanya Peter penuh curiga.
"Tentu saja tidak aku paman orang yang sangat adil. Yang paling adil dari semua orang tua." Ucap Erick menyombongkan dirinya.
"Omong kosong." Ucap Peter.
"Omong-omong kita kan laki-laki, tidak cocok memakai kalung seperti itu." Ucap Jake.
"Tenang saja, kalian bisa memberikan kalung ini ke pacar kalian suatu saat nanti. Walaupun paman tahu sekarang kalian tak mempunyai pacar." Ucap Erick memberi saran sekaligus mengejek.
"Enak saja. Asal paman tau saja keponakan paman ini merupakan siswa paling tampan di sekolah." Ucap Peter dengan bangga sembari menunjukan pesonanya.
"Paman ingin muntah mendengarnya. Jadi kita lanjutkan saja." Kata Erick.
Erick pun mengambil dua kalung yang tersisa dan mengeluarkannya dari dalam kotak. Kedua kalung itu sangat mirip. Kedua kalung tersebut sebening kaca berbentuk bintang. Talinya terbuat dari emas putih yang sangat indah.
"Ini ambilah. Kalung kembar untuk si kembar." Ucap Erick sembari menyodorkan kedua kalung itu. Jake dan Peter pun bangun untuk mengambil kalung itu dang langsung kembali ke tempatnya.
"Sudah ya paman pergi dulu." Ucap Erick sembari menutup kotak tersebut dan mengangkatnya. Saat Erick mengangkat kotak tersebut terdengar bunyi dari dalam kotak, seperti ada sesuatu dalam kotak tersebut. Erick pun bingung karena seharusnya kotak itu sudah kosong dan hanya berisi kain saja.
"Ada apa paman?" Tanya Peter melihat ekspresi pamannya.
Tak mendengarkan Peter, Erick pun langsung menaruh kotak itu kembali dan membukanya. Ia mengangkat kain yang ada di dalam kotak dan terlihat sebuah sebuah batu yang dibuat menjadi kalung. Tali kalung tersebut hanya dari tali yang sangat usang.
"Apa ini?" Tanya Erick kebingungan.
"Ada apa yah?" Tanya Irene yang sedari tadi memerhatikan ayahnya.
"Ayah tak tahu apa ini." Ucap Erick sembari mengeluarkan kalung tersebut.
"Wah jelek sekali." Komentar Erina.
"Iya jelek sekali." Ucap Irene menimpali.
"Apa itu termasuk hartanya nenek." Tanya Peter.
"Apa itu lelucon nenek yang ia buat sebelum meninggal." Ucap Jake.
"Apapun ini, ini pasti sama berharganya dengan yang kalian punya." Ucap Erick.
"Berharga apanya." Ucap Peter tak percaya.
"Kalung ini akan aku berikan kepada Marisa saja." Ucap Erick.
"Wah paman tega sekali memberi istri paman kalung seperti itu." Ucap Erina.
"Siapa tahu saja." Ucap Erick sembari memberasakan kotak tadi dan berlalu pergi.
"Aku penasaran batu apa itu." Ucap Irene.
"Entahlah." Ucap Jake sembari mengangkat bahunya.
______________
Cahaya mentari menerangi hutan di bawahnya, memberi kehangatan bagi seluruh penghuninya. Burung-burung berkicauan meramaikan pagi yang indah ini.
Di pagi yang cerah ini Irene sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton tv bersama ketiga sepupunya.
Acar tv yang ditayangkan pagi ini sangat membosankan membuat Irene tidak betah.
"Acara tv membosankan sekali. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan?" Ajak Irene.
"Ide yang bagus. Cuaca di luar sana pasti sangat menyegarkan,tapi aku sudah lengket sekali di sofa ini" Ucap Erina.
"Aku juga malas." Ucap Peter.
"Aku juga sama." Kata Jake.
"Baiklah biar aku jalan-jalan sendiri saja." Ucap Irene sembari berdiri dari sofa dan berjalan keluar rumah.
Saat sudah di luar, udara segar langsung menyambut Irene. Matahari pagi pun membagikan kehangatannya.
Bau harum bunga menggelitik indra penciuman Irene. Memang di sekitar rumah nenek Irene juga ada kebun bunga.
"Padahal cuacanya secerah ini tapi mereka tidak mau jalan-jalan. Dasar orang- orang aneh." Gerutu Irene sambil berjalan menjauhi rumah.
Irene berjalan memasuki hutan yang berada dekat dengan rumah neneknya. Pepohonan yang lebat menghalangi cahaya matahari masuk, akibatnya bagian dalam hutan lebih gelap. Akar-akar pohon yang besar menjalar di tanah seakan-akan ingin menjerat kaki orang yang memasuki hutan. Namun hal itu tak menyurutkan niat Irene untuk berjalan semakin jauh.
Semakin Irene dalam Irene menjelajahi hutan, suasana dalam hutan berubah menjadi mencekam secara perlahan. Hutan menjadi semakin gelap, bahkan cahaya matahari nyaris tak dapat menembus masuk. Angin yang bertiup, secara perlahan-lahan menajadi kencang.
"Mengapa suasana dalam hutan ini menjadi aneh. Perasaanku juga menjadi tidak enak. Sebaiknya aku segera keluar dari sini." Ucap Irene sembari membalikkan badannya.
Sudah lama Irene berjalan, namun Irene tak kunjung menemukan jalan keluar. Rasa takut perlahan-lahan menjalar dalam dirinya. Ia mulai panik . Walaupun begitu Irene tetap berusaha mencari jalan keluar, namun hasilnya sama.
"Bagaimana ini?." Ucap Irene rasa takut semakin menguasai dirinya. Irene pun berlari karena panik. Namun saat berlari kakinya tersandung akar pohon yang besar, membuat Irene kesakitan terutama di bagian lutut
Perlahan-lahan Irene menjadi histeris. Air mata perlahan-lahan keluar dari matanya. Irene menundukkan kepalanya karena pusing. Irene yang keras kepala telah berubah menjadi lemah.
Angin bertiup semakin kencang. Hutan juga semakin gelap mencekam. Irene menjadi sesak napas karena angin yang kencang membuat debu dan tanah berterbangan ke arahnya. Bau aneh juga tercium dari udara.
Tak lama kemudian angin memutari Irene, mengurung Irene di dalamnya. Angin tersebut memisahkan Irene dari dunia luar. Angin tersebut membuat Irene semakin sesak napas dan pusing. Irene hanya bisa menangis, berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya.
Angin itu terus memutari Irene, menghalangi Irene dari dunia luar. Melihat dirinya dikelilingi angin aneh, Irene berusaha bangkit dan menerobos angin tersebut. Namun tubuh Irene malah terpental ke belakang, membuat sekujur tubuh Irene sakit.
Tak lama kemudian angin tersebut perlahan-lahan melambat hingga berhenti. Angin yang memutari Irene sudah berhenti, namun Irene masih menundukkan kepalanya karena pusing.
Setelah pusingnya mereda, Irene secara perlahan mengangkat kepalanya dan memandangi sekitar. Irene kebingungan karena hutan tempatnya berada tadi telah menghilang. Sekarang ia berada di tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Irene bingung sekaligus takjub karena tempatnya berada saat ini sangat indah. Bahkan membuat Irene tak bisa berkata-kata karena terbius oleh keindahannya. Irene pun bertanya-tanya, ada dimanakah dirinya
Komentar
Posting Komentar