Deiforn(4. Hutan Nikar (1))

Cuaca pagi sangat cerah di deiforn. Rumput-rumput bergoyang-goyang karena ditiup angin, menciptakan pertunjukkan alam yang indah. Matahari di deiforn berbentuk seperti bunga yang sedang mekar, membagikan kehangatannya pada seluruh penghuni deiforn.

Suara debur ombak terdengar dari arah laut, menghasilkan bunyi yang tenang. Suara dengkuran Irene bersaing dengan suara ombak tersebut. Irene dan Hanix masih tertidur sejak semalam. Api yang mereka nyalakan semalam telah padam.

Suara dengkurannya mirip seperti suara lengguhan seekor sapi. Suara begitu buruk, namun anehnya tidak menganggu satu pun dari mereka berdua. Mereka berdua masih terbuai dalam alam mimpi mereka masing-masing.

Irene menggeliat di padang rumput bagaikan cacing tanah. Perlahan-lahan kelopak matanya terangkat, Irene mulai bangun. Irene mengubah posisinya menjadi posisi duduk. Ia masih setengah sadar. Irene melihat ke sampingnya, Hanix masih tertidur dengan pulas dalam posisi berdiri dikarenakan bentuk tubuhnya.

Irene perlahan-lahan mengumpulkan kesadarannya. Sekujur tubuhnya pegal-pegal karena tidur di rumput. Setelah kesadaran Irene telah pulih sepenuhnya, ia berdiri menghampiri hanix. Irene meggoyangkan tubuh Hanix agar ia bangun. Tubuhnya yang bergoyang-goyang seperti agar-agar yang kenyal.

Karena tubuhnya yang digoyang-goyangkan, perlahan-lahan Hanix membuka matanya. Ia melirik Irene yang berada sedikit jauh di sampingnya. Irene sedang merenggangkan tubuhnya.

"Hei apakah kau lapar?" Tanya Hanix kepada Irene, membuat Irene menghentikan aktivitasnya sejenak dan memandang Hanix.

"Tentu saja. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku makan." Ucap Irene acuh sembari melanjutkan aktivitasnya, meregangkan tubuhnya yang pegal.

"Wah kau semangat sekali." Ucap Hanix melihat Irene bersemangat sekali saat menyangkut makanan.

"Iya dong, aku sebagai makhluk hidup harus mementingkan soal makanan." Ucap Irene telah selesai melakukan peregangannya.

"Tapi kita mau makan dimana?" Tanya Irene sembari menghampiri Hanix.

"Aku tahu sebuah tempat yang menyediakan banyak makanan." Ucap Hanix.

"Di mana itu?" Tanya Irene, matanya membesar karena penasaran.

"Lihat nanti saja." Ucap Hanix berlagak sok misterius.

"Wah mengesalkan sekali melihatmu berlagak seperti itu. Rasanya aku ingin memukulmu." Ucap Irene sembari mengepalkan tangan kanannya.

"Hehe maaf. Kalau begitu ayo pergi." Ucap Hanix sembari beranjak pergi. Ia bergerak dengan menyeret tubuhnya. Irene pun mengikutinya di belakang.

"Oh iya. Kau belum pernah membicarakan keluargamu." Ucap Hanix memulai pembicaraan.

"Keluargaku biasa saja tidak ada yang menarik." Ucap Irene tak acuh sembari terus berjalan.

"Tapi dirimu sangat menarik. Maksudku sikapmu itu." Ucap Hanix terus menyeret tubuhnya menyusuri sebuah jalan.

Mereka berjalan ke arah utara. Jalan yang mereka lalui berbatu dan sangat terjal. Di kanan dan kiri jalan tersebut tumbuh pohon berbentuk aneh. Batang pohonnya melengkung-lengkung. Daunnya berbentuk elips berwarna merah darah, memberi kesan seram.

Kini mereka berdua memasuki hutan. Hutan tersebut tidak terlalu lebat. Hutan tersebut ditumbuhi pepohonan yang tak kalah aneh dari pohom yang tadi. Batangnya berwarna putih dengan daun berwarna pisau berwarna biru, memberi kesan indah. Hutan tersebut mengeluarkan bau yang harum.

"Menurutku sikapku biasa-biasa saja." Ucap Irene sembari melompati akar besar.

"Biasa apanya terkadang kau baik dan terkadang kau juga galak." Ucap Hanix.

Setelah Hanix berbicara, tiba tiba suasana di hutan tersebut berubah menjadi tidak enak. Pepohonan yang indah pun tak mampu menghilangkan suasana tersebut. Perubahan suasan hutan itu diikuti perubahan perasaan Hanix dan Irene. Perasaan mereka menjadi tidak enak.

Angin bertiup kencang membuat, pohon-pohon bergoyang karenanya. Beberapa daun yang selerti pisau gugur ke tanah dan berubah warna menjadi putih lalu menghilang. Langit menjadi sedikit gelap.

"Hei mengapa tiba-tiba suasanya menjadi seperti ini?" Tanya Irene sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan dengan was-was.

"Aku juga tak tahu." Ucap Hanix yang juga bingung.

Tiba-tiba di tanah Irene dapat melihat bayangan makhluk yang sedang terbang. Dari bayangannya makhluk tersebut cukup besar. Hanix yang melihat arah mata Irene juga melihat makhkuk tersebut. Dilihat dari bayanganya, makhluk tersebut berputar-putar di udara. Saat mereka berdua melihat ke atas, mereka hanya bisa melihat makhluk itu secara samar karena terhalangi oleh pepohonan.

Tiba-tiba saja makhkuk terlihat menembus pepohonan di atas Irene dan Hanix dan mendarat telat di depan keduanya. Makhluk tersebut penampilannya aneh sekali. Makhluk tersebut bermahkota, berkepala seperti singa, berbelalai seperti gajah, bersayap seperti burung garuda, bersisik seperti ikan, dan kakinya bertaji seperti ayam.

Irene sedikit takut melihat penampilan makhluk tersebut berbanding terbalik dengan Hanix, ia terlihat senang melihat makhluk tersebut.

"Irene kenalkan dia Siema dia temanku." Ucap Hanix memerkenalkan temannya.

"Siema inducere eum ad invidiam Irene novum amicus meus." Ucap Hanix membuat Irene melonggo karena mendengar bahasa yang digunakan Hanix. Irene yakin pasti Hanix sedang memerkenalkan dirinya.

Siema tiba-tiba tersenyum setelah Hanix mengucapkan kata tersebut. Ia pun memandang Irene, membuat Irene merasa tidak nyaman.

"Vos potest uti magicae ut posset dicere Deiforn." Ucap Hanix yang lagi-lagi membuat Irene terbengong karena kaget. Kali ini ia tak tahu apa yang diucapkan Hanix.

"Utique." Ucap siema, belalainya bergerak naik turun dan sayapnya mengepak.

"Irene kau tahu yang kugunakan tadi adalah bahasa Deiforn." Jelas Hanix sembari memandang Irene, membuat Irene puas dan mengangguk paham.

"Agar kau bisa berbahasa Deiforn siema akan menggunakan sihirnya." Ucap Hanix.

"Baiklah." Ucap Irene antusias karena ia ingin sekali berbahasa Deiforn. Menurutnya itu keren sekali.

Hanix pun mengangguk kepada Siema. Siema pun balas mengangguk. Mereka berdua saling memberi kode.

Siema melangkah mendekati Irene. Saat sudah di depan Irene, Siema mengepak-ngepakan sayapnya lebih kencang, membuat Irene haru bersusah payah agar tidak terjatuh. Pohon-pohon pun ikut kena imbasnya, mereka bergoyang-goyang dan membuat beberapa daunnya gugur.

Siema kemudian memutar-mutat belalainya. Seketika Irene melihat Deiforn dalam waktu malam. Bulan dan bintang mengeluarkan cahaya menerangi seluruh deiforn. Lalu tiba-tiba saja seluruh tubuh Irene dikelilingi oleh serbuk cahaya berwarna ungu.

Saat dikelilingi oleh serbuk tersebut, Irene susah bernapas. Napasnya tercekat. Pandangan mata Irene menjadi kabur secara perlahan. Ia mulai kesulitan melihat lingkungan di sekitarnya. Irene menjadi takut. Sedang diapakan dirinya. Apakah ini aman.

Kemudian pandangan mata Irene perlahan-lahan mulai membaik. Ia dapat melihat dengan Jelas Siema yang masih memutar-mutar belalainya. Napas Irene berangsur-angsur membaik. Deiforn telah kembali menjadi siang. Irene lun bersyukur karena merasa prosesnya sudah selesai.

Setelah hal yang Irene alami tadi ia sadar Hanix dan Siema memandangnya dengan tatapan aneh. Mata mereka membesar seperti melihat sesuatu yang mengangetkan. Irene menjadi risih karena ditatap seperti itu.

"Mengapa kalian menatapku seperti itu." Tanya Irene tak tahan menerima tatapan mereka berdua.

Hanix pun terlihat kebingungan untuk menjawab. Hanix memandang ke arah Siema, Siema pun juga sama kebingungganya. Mereka beedua terlihat seperti kaget bercampur takut. Hanix pun ingin menjawab, tapi tergagap.

"Wajahmu----." Ucap Hanix tergagap dan tak mampu melanjutkan.

"Wajahku kenapa?" Ucap Irene tak mengerti. Hanix sontak terdiam mendengar pertanyaan tersebut sedangkan Siema terlihat bingung dan ketakutan.

Merasa tak mendapat jawaban dari dua makluk di depannya, Irene lun mengeluarkan cermin kecil dari kantungnya yang selalu ia bawa kemana-mana.

Saat ia melihat wajahnya di cermin, Irene sangat terkejut dan juga marah. Pasalnya wajahnya menjadi sangat jelek. Matanya tiba-tiba membesar dengan bola mata seperti ingin keluar, hidungnya bengkok dan seperti tertanam jauh di bawah wajahnya, bibirnya menjadi seperti nenek sihir dengan gigi berwarna kuning.

Melihat dirinya menjadi seperti ini setelah dimantrai oleh Siema, Irene menjadi geram. Cermin di tangannya tiba-tiba hancur karena digenggam terlalu kuat. Ia pun langsung menghampiri Siema, Siema menjadi ketakutan.

"Kau benar-benar kurang ajar." Ucap Irene marah. Ia terus menghampiri Siema sementari Siema terus mundur kebelakang, namun sial ia tidak bisa mundur lagi karena dibelakangnya sebuah pohon.

Hanix yang melihat Siema semakin terpojok, berusaha menahan Irene. Namun Saat sudah seperti ini, tidak ada yang bisa menahan Irene. Hanix yang mencoba menahan malah terlempar ke belakang dalam posisi terbaring.

Irene saat ini sudah di depan Siema yang terpojok. Irene mengepalkan tangan kanannya dan tanpa banyak bicara lagi, ia memukul Siema dengan sangat keras. Pukulan itu ampuh untuk membuat Siema kesakitan.

"Cepat kembalikan aku seperti semula." Perintah Irene. Siema kebingunggan dengan ucapan Irene dan memandang Hanix.

"Redire at normalis ipsum." Ucap Hanix menerjemahkan.

Siema yang mengerti pun langsung berdiri dan memutar kembali belalainya. Seketika juga Deiforn yang Irene lihat adalah Deiforn di malam hari.

Serbuk cahaya kembali mengelilingi Irene. Kali ini pandangan Irene tidak buram dan ia bisa bernapas dengan normal. Kemudian pohon-pohon di sekeliling Irene seperti berbicara kepadanya. Pohon-pohon itu mempunyai mulut di batangnya. Lalu pohon-pohon itu berdiri dan menghampiri Irene sembari terus berbicara.

Pohon-pohon itu mengelilingi Irene dan menggoyangkan batang-batangnya. Ajaib dari goyangan batang pohon tersebut tercipta bunga yang berwarna-warni. Bunga-bunga tersebut juga mengelilingi Irene sama seperti serbuk cahaya. Lalu bunga-bunga tersebut seperti tertarik ke tubuh Irene dan terserap disana. Irene merasa aneh saat bunga-bunga tersebut menembusnya.

Setelah semua bunga itu terserap ke tubuh Irene, pohon-pohon kembali ke tempatnya dan serbuk cahaya telah menghilang. Deiforn juga sudah kembali ke siang hari. Irene merasa kali ini semuanya baik-baik saja.

"Maafkan ku tadi. Aku salah menggunakan sihirku dan ternyata pukulan sakit sekali." Ucap Siema dengan nada ketus.

"Ya maaf. Aku itu paling sensitif soal wajah." Ucap Irene sambil tersenyum tanpa dosa.

"Hei kalian lupa aku masih terbaring disini dan tak bisa bangun." Ucap Hanix membuat Siema dan Irene memandangnya.

Irene dengan malas menghampiri Hanix dan membantunya berdiri. Cukup sulit membangunkan Hanix mengingat bentuk tubuhnya. Akhirnya setelah perjuangan keras Irene Hanix dapat bangun.

"Oh ya kalian mau kemana." Ucap Siema.

"Kami mau ke hutan Nikar." Ucap Hanix dengan semangat.

"Aku mau ikut." Ucap Siema ingin bergabung dengan Hanix dan Irene.

"Kalau begitu ayo." Ucap Irene karena tidak sabar seperti apa hutan Nikar itu.

Mereka bertiga pun berjalan bersama menuju hutan Nikar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Deiforn(novel): Sinopsis

Asal mula dipakainya obor dalam olimpiade

Jenderal Ahmad Yani